Rabu, 14 November 2007

Hotspot Mancing

FORMASI : Hotspot Mancing
Kep 1000:Tandes Haris : 106*46,450' BT dan 05*29,350' LS Tandes Ave : 106*41,672' BT dan 05*31,846' LS Tandes Kuswadi III : 106*44,899' BT dan 05*29,415 LS Karang Supermarket Timur : 106*45,098' BT dan 05*29,673 LS. Karang Karimun : 106*48,637' BT dan 05*29,491' LS. Tandes Dani : 106*40,843' BT dan 05*32,258' LS. Tandes Pujo II : 106*46,898' BT dan 05*30,569' LS. Tandes Coco : 106*44,624' BT dan 05*29,665' LS. Tandes Surya Paloh : 106*46,233' BT dan 05*31,249' LS. Tandes Dadi II : 106*49,097' BT dan 05*35,405' LS. Tandes Kartini : 106*42,187' BT dan 05*34,482' LS. Kapal tenggelam : 106*39,850' BT dan 05*34,307' LS.Ujung Kulon:Tanjung Karang Kereta : 105*11' BT dan 06*50' LS. Jenis ikan yang dapat dipancing disini adalah marlin, layaran, kuwe gerong dan hiu. Sang Hyang Sirah : 105*14' BT dan 06*49' LS. Ikan layaran sering sekali ditemukan didaerah yang dapat dikenali dengan dua bongkah karang besar ini. Karang Copong : 105*14 BT dan 06*43' LS. Wahu, kuwe, layaran dan tengiri sering bermain disini. Tanjung Layar : 105*10' BT dan 06*45' LS. Ikan ikan yang sering dijumpai termasuk marlin, layaran dan tuna. Karang Jajar : 105*11' BT dan 06*41' LS. Ikan yang dapat dipancing di hotspot ini termasuk kuwe, tuna, barakuda, tenggiri dan hiu. Tanjung Waton : 105*14' BT dan 06*43' LS. Marlin dan layaran kadang kala sering terlihat di hotspot ini. Batu Asin : 105*11 BT dan 06*32' LS. Kuwe berukuran besar dapat Anda temudi di hotspot ini. Tempat ini juga cocok untuk mancing dasar. Tanjung Parat : 105*16' BT dan 06*31' LS. Layaran, wahu dan lemadang dapat anda jumpai di sini.Muara Binuangen:Hotspot di Binuangeun terdiri dari :Tubiran Ciara : 106*02,7' BT dan 06*56,2' LS. Kadang kadang marlin dapat ditemui di hotspot ini. Karang Cijulang : 105*47,1' BT dan 06*53,4' LS. Lokasi ini cocok untuk trolling kuwe, tenggiri maupun mancing dasar kurisi. Karang Inpres : 105*37,1' BT dan 06*57,2' LS. Walaupun banyak yang bilang bahwa daerah ini lebih cocok untuk mancing dasar daripada trolling, tetapi dimusim-musim tertentu kadang kala anda dapat menjumpai rombongan kuwe bermain di hotspot ini. Saya sendiri pernah bertemu rombongan tersebut dan mendapat strike yang hampir tidak ada henti-hentinya. Karang Sodong : 105*34,7' BT dan 06*53,8' LS. Hotspot ini cocok untuk trolling kuwe dan tenggiri. Karang Deef : 105*41,3' BT dan 06*59,5' LS. Berbagai jenis ikan dari wahu, tenggiri, baracuda, kuwe sering terlihat disini. Saya sendiri bulan Oktober 98 lalu mendapat beberapa ekor tenggiri di hotspot ini. Tanjung Karang Tinjil : 105*45,0' BT dan 06*58,8' LS. Tanjung Selatan Tinjil : 105*50,6' BT dan 06*57,7' LS. Kedua hotspot diatas berada di seputar pulau Tinjil. Tanjung Selatan Deli : 105*34,8' BT dan 07*01,2' LS. Karang Rente : 105*28,6' BT dan 07*01,7 LS. Kedua hotspot ini terdapat diseputaran pulau Deli. Karang Tengah : 105*22,5' BT dan 07*03,1 LS. Hotspot yang satu ini terletak paling jauh, sehingga apabila udara tidak bagus sebaiknya Anda tidak kedaerah yang satu ini. Tetapi apabila udara mengijinkan, maka hotspot yang satu ini kabarnya sangat menjanjikan. Saya sendiri belum menemukan kesempatan untuk menjajal hotspot yang satu ini. Saya janji saya akan ceritakan apabila saya telah mencoba tempat ini.
at 10:34 PM 0 comments Links to this post
Labels:

Pemanfaatan Limbah Cangkang Udang

Pemanfaatan Limbah Cangkang Udang - Sebagai Bahan Pengawet Kayu Ramah Lingkungan
Udang adalah komoditas andalan dari sektor perikanan yang umumnya diekspor dalam bentuk beku. Potensi produksi udang di Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat. Selama ini potensi udang Indonesia rata-rata meningkat sebesar 7,4 persen per tahun.<>
Data tahun 2001, potensi udang nasional mencapai 633.681 ton. Dengan asumsi laju peningkatan tersebut tetap, maka pada tahun 2004 potensi udang diperkirakan sebesar 785.025 ton. Dari proses pembekuan udang untuk ekspor, 60-70 persen dari berat udang menjadi limbah (bagian kulit dan kepala) sehingga diperkirakan akan dihasilkan limbah udang sebesar 510.266 ton.
Limbah sebanyak itu, jika tidak ditangani secara tepat, akan menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan, karena selama ini pemanfaatan limbah cangkang udang hanya terbatas untuk pakan ternak saja seperti itik, bahkan sering dibiarkan membusuk.
Cangkang udang mengandung zat khitin sekitar 99,1 persen. Jika diproses lebih lanjut dengan melalui beberapa tahap, akan dihasilkan khitosan, yaitu:
1. Dimineralisasi
Limbah cangkang udang dicuci dengan air mengalir, dikeringkan di bawah sinar Matahari sampai kering, lalu digiling sampai menjadi serbuk ukuran 40-60 mesh. Kemudian dicampur asam klorida 1,25 N dengan perbandingan 10:1 untuk pelarut dibanding kulit udang, lalu dipanaskan pada suhu 90°C selama satu jam. Residu berupa padatan dicuci dengan air sampai pH netral dan selanjutnya dikeringkan dalam oven pada suhu 80°C selama 24 jam.
2. Deproteinisasi
Limbah udang yang telah dimineralisasi kemudian dicampur dengan larutan sodium hidroksida 3,5 persen dengan perbandingan antara pelarut dan cangkang udang 6:1. Selanjutnya dipanaskan pada suhu 90°C selama satu jam. Larutan lalu disaring dan didinginkan sehingga diperoleh residu padatan yang kemudian dicuci dengan air sampai pH netral dan dikeringkan pada suhu 80°C selama 24 jam.
3. Deasetilisasi khitin menjadi khitosan
Khitosan dibuat dengan menambahkan sodium hidroksida (60 persen) dengan perbandingan 20:1 (pelarut dibanding khitin), lalu dipanaskan selama 90 menit dengan suhu 140°C. Larutan kemudian disaring untuk mendapatkan residu berupa padatan, lalu dilakukan pencucian dengan air sampai pH netral, kemudian dikeringkan dengan oven suhu 70°C selama 24 jam.
Khitosan memiliki sifat larut dalam suatu larutan asam organik, tetapi tidak larut dalam pelarut organik lainnya seperti dimetil sulfoksida dan juga tidak larut pada pH 6,5. Sedangkan pelarut khitosan yang baik adalah asam asetat.
Pada saat ini khitosan banyak dimanfaatkan dalam bidang industri, perikanan, dan kesehatan di luar negeri, seperti untuk bahan pelapis, perekat, penstabil, serta sebagai polimer dalam bidang teknologi polimer.
Setelah khitosan diperoleh, pada dasarnya semua metode pengawetan kayu, yaitu metode pengawetan tanpa tekanan, metode pengawetan dengan tekanan, metode difusi, dan sap replacement method, bisa dipakai.
Aplikasi khitosan sebagai bahan pengawet kayu terbukti efektif untuk menghambat pertumbuhan jamur pelapuk kayu dan beberapa jenis jamur lain, seperti Fusarium oxysporum dan Rhizoctania solani, serta meningkatkan derajat proteksi kayu terhadap rayap kayu kering dan rayap tanah. Bahkan, kayu yang diawetkan dengan khitosan dengan metode perendaman teksturnya menjadi lebih halus.
Ini sesuai dengan sifat khitosan yang dapat membentuk lapisan film yang licin dan transparan. Hal tersebut menunjukkan bahwa khitosan memiliki potensi sebagah bahan finishing yang mampu meningkatkan tekstur permukaan kayu.
Untuk kayu-kayu berwarna terang, seperti nyatoh kuning, sengon, ramin, dan pinus, pengawetan dengan khitosan dapat meningkatkan penampilan kayu dalam hal warna kayu menjadi lebih terang. Perubahan warna tersebut disebabkan oleh zat warna karotenoid yang terdapat pada udang. Namun, untuk mendapatkan hasil yang bagus, dalam proses pengawetan harus diperhatikan mengenai kondisi kayu, metode pengawetan, jenis bahan pengawet, perlakuan sebelum pengawetan terhadap kayu, dan konsentrasi bahan pengawet.
Dari segi lingkungan, penggunaan khitosan sebagai bahan pengawet kayu relatif aman karena sifatnya yang non toxic dan biodegradable. Sebab, selama ini bahan pengawet yang sering digunakan merupakan bahan kimia beracun yang kurang ramah lingkungan dan unbiodegradable.
Dari sisi ekonomi, pemanfaatan khitosan dari limbah cangkang udang untuk bahan pengawet kayu sangat menguntungkan karena bahan bakunya berupa limbah dan berasal dari sumber daya lokal (local content).
Untuk ekstrasi khitin dari limbah cangkang udang rendemennya sebesar 20 persen, sedangkan rendemen khitosan dari khitin yang diperoleh adalah sekitar 80 persen. Maka dari itu, dengan mengekstrak limbah cangkang udang sebanyak 510.266 ton, akan diperoleh khitosan sebesar 81.642,56 ton.
Jumlah yang sangat besar mengingat sebagian besar bahan pengawet kayu yang digunakan selama ini masih diimpor sehingga akan menghemat devisa negara. Untuk ke depannya, apabila limbah cangkang udang ini dikelola dengan teknologi yang tepat, akan menjadi alternatif bahan pengawet murah, alami, ramah lingkungan, dan bisa mendatangkan devisa negara jika diekspor ke luar negeri.
Karena pengawetan kayu dengan bahan pengawet alami, selain ramah lingkungan, juga menambah masa pakai kayu yang nantinya akan dapat menghemat penggunaan kayu secara nasional sehingga dapat mencegah terjadinya peningkatan kerusakan hutan dan membantu merealisasikan asas pelestarian hutan.
Kurnia Wiji Prasetiyo, S Hut UPT Balitbang Biomaterial LIPI Cibinong, Bogor