Rabu, 14 November 2007

Hotspot Mancing

FORMASI : Hotspot Mancing
Kep 1000:Tandes Haris : 106*46,450' BT dan 05*29,350' LS Tandes Ave : 106*41,672' BT dan 05*31,846' LS Tandes Kuswadi III : 106*44,899' BT dan 05*29,415 LS Karang Supermarket Timur : 106*45,098' BT dan 05*29,673 LS. Karang Karimun : 106*48,637' BT dan 05*29,491' LS. Tandes Dani : 106*40,843' BT dan 05*32,258' LS. Tandes Pujo II : 106*46,898' BT dan 05*30,569' LS. Tandes Coco : 106*44,624' BT dan 05*29,665' LS. Tandes Surya Paloh : 106*46,233' BT dan 05*31,249' LS. Tandes Dadi II : 106*49,097' BT dan 05*35,405' LS. Tandes Kartini : 106*42,187' BT dan 05*34,482' LS. Kapal tenggelam : 106*39,850' BT dan 05*34,307' LS.Ujung Kulon:Tanjung Karang Kereta : 105*11' BT dan 06*50' LS. Jenis ikan yang dapat dipancing disini adalah marlin, layaran, kuwe gerong dan hiu. Sang Hyang Sirah : 105*14' BT dan 06*49' LS. Ikan layaran sering sekali ditemukan didaerah yang dapat dikenali dengan dua bongkah karang besar ini. Karang Copong : 105*14 BT dan 06*43' LS. Wahu, kuwe, layaran dan tengiri sering bermain disini. Tanjung Layar : 105*10' BT dan 06*45' LS. Ikan ikan yang sering dijumpai termasuk marlin, layaran dan tuna. Karang Jajar : 105*11' BT dan 06*41' LS. Ikan yang dapat dipancing di hotspot ini termasuk kuwe, tuna, barakuda, tenggiri dan hiu. Tanjung Waton : 105*14' BT dan 06*43' LS. Marlin dan layaran kadang kala sering terlihat di hotspot ini. Batu Asin : 105*11 BT dan 06*32' LS. Kuwe berukuran besar dapat Anda temudi di hotspot ini. Tempat ini juga cocok untuk mancing dasar. Tanjung Parat : 105*16' BT dan 06*31' LS. Layaran, wahu dan lemadang dapat anda jumpai di sini.Muara Binuangen:Hotspot di Binuangeun terdiri dari :Tubiran Ciara : 106*02,7' BT dan 06*56,2' LS. Kadang kadang marlin dapat ditemui di hotspot ini. Karang Cijulang : 105*47,1' BT dan 06*53,4' LS. Lokasi ini cocok untuk trolling kuwe, tenggiri maupun mancing dasar kurisi. Karang Inpres : 105*37,1' BT dan 06*57,2' LS. Walaupun banyak yang bilang bahwa daerah ini lebih cocok untuk mancing dasar daripada trolling, tetapi dimusim-musim tertentu kadang kala anda dapat menjumpai rombongan kuwe bermain di hotspot ini. Saya sendiri pernah bertemu rombongan tersebut dan mendapat strike yang hampir tidak ada henti-hentinya. Karang Sodong : 105*34,7' BT dan 06*53,8' LS. Hotspot ini cocok untuk trolling kuwe dan tenggiri. Karang Deef : 105*41,3' BT dan 06*59,5' LS. Berbagai jenis ikan dari wahu, tenggiri, baracuda, kuwe sering terlihat disini. Saya sendiri bulan Oktober 98 lalu mendapat beberapa ekor tenggiri di hotspot ini. Tanjung Karang Tinjil : 105*45,0' BT dan 06*58,8' LS. Tanjung Selatan Tinjil : 105*50,6' BT dan 06*57,7' LS. Kedua hotspot diatas berada di seputar pulau Tinjil. Tanjung Selatan Deli : 105*34,8' BT dan 07*01,2' LS. Karang Rente : 105*28,6' BT dan 07*01,7 LS. Kedua hotspot ini terdapat diseputaran pulau Deli. Karang Tengah : 105*22,5' BT dan 07*03,1 LS. Hotspot yang satu ini terletak paling jauh, sehingga apabila udara tidak bagus sebaiknya Anda tidak kedaerah yang satu ini. Tetapi apabila udara mengijinkan, maka hotspot yang satu ini kabarnya sangat menjanjikan. Saya sendiri belum menemukan kesempatan untuk menjajal hotspot yang satu ini. Saya janji saya akan ceritakan apabila saya telah mencoba tempat ini.
at 10:34 PM 0 comments Links to this post
Labels:

Pemanfaatan Limbah Cangkang Udang

Pemanfaatan Limbah Cangkang Udang - Sebagai Bahan Pengawet Kayu Ramah Lingkungan
Udang adalah komoditas andalan dari sektor perikanan yang umumnya diekspor dalam bentuk beku. Potensi produksi udang di Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat. Selama ini potensi udang Indonesia rata-rata meningkat sebesar 7,4 persen per tahun.<>
Data tahun 2001, potensi udang nasional mencapai 633.681 ton. Dengan asumsi laju peningkatan tersebut tetap, maka pada tahun 2004 potensi udang diperkirakan sebesar 785.025 ton. Dari proses pembekuan udang untuk ekspor, 60-70 persen dari berat udang menjadi limbah (bagian kulit dan kepala) sehingga diperkirakan akan dihasilkan limbah udang sebesar 510.266 ton.
Limbah sebanyak itu, jika tidak ditangani secara tepat, akan menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan, karena selama ini pemanfaatan limbah cangkang udang hanya terbatas untuk pakan ternak saja seperti itik, bahkan sering dibiarkan membusuk.
Cangkang udang mengandung zat khitin sekitar 99,1 persen. Jika diproses lebih lanjut dengan melalui beberapa tahap, akan dihasilkan khitosan, yaitu:
1. Dimineralisasi
Limbah cangkang udang dicuci dengan air mengalir, dikeringkan di bawah sinar Matahari sampai kering, lalu digiling sampai menjadi serbuk ukuran 40-60 mesh. Kemudian dicampur asam klorida 1,25 N dengan perbandingan 10:1 untuk pelarut dibanding kulit udang, lalu dipanaskan pada suhu 90°C selama satu jam. Residu berupa padatan dicuci dengan air sampai pH netral dan selanjutnya dikeringkan dalam oven pada suhu 80°C selama 24 jam.
2. Deproteinisasi
Limbah udang yang telah dimineralisasi kemudian dicampur dengan larutan sodium hidroksida 3,5 persen dengan perbandingan antara pelarut dan cangkang udang 6:1. Selanjutnya dipanaskan pada suhu 90°C selama satu jam. Larutan lalu disaring dan didinginkan sehingga diperoleh residu padatan yang kemudian dicuci dengan air sampai pH netral dan dikeringkan pada suhu 80°C selama 24 jam.
3. Deasetilisasi khitin menjadi khitosan
Khitosan dibuat dengan menambahkan sodium hidroksida (60 persen) dengan perbandingan 20:1 (pelarut dibanding khitin), lalu dipanaskan selama 90 menit dengan suhu 140°C. Larutan kemudian disaring untuk mendapatkan residu berupa padatan, lalu dilakukan pencucian dengan air sampai pH netral, kemudian dikeringkan dengan oven suhu 70°C selama 24 jam.
Khitosan memiliki sifat larut dalam suatu larutan asam organik, tetapi tidak larut dalam pelarut organik lainnya seperti dimetil sulfoksida dan juga tidak larut pada pH 6,5. Sedangkan pelarut khitosan yang baik adalah asam asetat.
Pada saat ini khitosan banyak dimanfaatkan dalam bidang industri, perikanan, dan kesehatan di luar negeri, seperti untuk bahan pelapis, perekat, penstabil, serta sebagai polimer dalam bidang teknologi polimer.
Setelah khitosan diperoleh, pada dasarnya semua metode pengawetan kayu, yaitu metode pengawetan tanpa tekanan, metode pengawetan dengan tekanan, metode difusi, dan sap replacement method, bisa dipakai.
Aplikasi khitosan sebagai bahan pengawet kayu terbukti efektif untuk menghambat pertumbuhan jamur pelapuk kayu dan beberapa jenis jamur lain, seperti Fusarium oxysporum dan Rhizoctania solani, serta meningkatkan derajat proteksi kayu terhadap rayap kayu kering dan rayap tanah. Bahkan, kayu yang diawetkan dengan khitosan dengan metode perendaman teksturnya menjadi lebih halus.
Ini sesuai dengan sifat khitosan yang dapat membentuk lapisan film yang licin dan transparan. Hal tersebut menunjukkan bahwa khitosan memiliki potensi sebagah bahan finishing yang mampu meningkatkan tekstur permukaan kayu.
Untuk kayu-kayu berwarna terang, seperti nyatoh kuning, sengon, ramin, dan pinus, pengawetan dengan khitosan dapat meningkatkan penampilan kayu dalam hal warna kayu menjadi lebih terang. Perubahan warna tersebut disebabkan oleh zat warna karotenoid yang terdapat pada udang. Namun, untuk mendapatkan hasil yang bagus, dalam proses pengawetan harus diperhatikan mengenai kondisi kayu, metode pengawetan, jenis bahan pengawet, perlakuan sebelum pengawetan terhadap kayu, dan konsentrasi bahan pengawet.
Dari segi lingkungan, penggunaan khitosan sebagai bahan pengawet kayu relatif aman karena sifatnya yang non toxic dan biodegradable. Sebab, selama ini bahan pengawet yang sering digunakan merupakan bahan kimia beracun yang kurang ramah lingkungan dan unbiodegradable.
Dari sisi ekonomi, pemanfaatan khitosan dari limbah cangkang udang untuk bahan pengawet kayu sangat menguntungkan karena bahan bakunya berupa limbah dan berasal dari sumber daya lokal (local content).
Untuk ekstrasi khitin dari limbah cangkang udang rendemennya sebesar 20 persen, sedangkan rendemen khitosan dari khitin yang diperoleh adalah sekitar 80 persen. Maka dari itu, dengan mengekstrak limbah cangkang udang sebanyak 510.266 ton, akan diperoleh khitosan sebesar 81.642,56 ton.
Jumlah yang sangat besar mengingat sebagian besar bahan pengawet kayu yang digunakan selama ini masih diimpor sehingga akan menghemat devisa negara. Untuk ke depannya, apabila limbah cangkang udang ini dikelola dengan teknologi yang tepat, akan menjadi alternatif bahan pengawet murah, alami, ramah lingkungan, dan bisa mendatangkan devisa negara jika diekspor ke luar negeri.
Karena pengawetan kayu dengan bahan pengawet alami, selain ramah lingkungan, juga menambah masa pakai kayu yang nantinya akan dapat menghemat penggunaan kayu secara nasional sehingga dapat mencegah terjadinya peningkatan kerusakan hutan dan membantu merealisasikan asas pelestarian hutan.
Kurnia Wiji Prasetiyo, S Hut UPT Balitbang Biomaterial LIPI Cibinong, Bogor

Teknologi VMS: Pemantauan Penangkapan Ikan

Menekan Kerugian Negara - Dari Pencurian Ikan Melalui Teknologi VMS
M Hartono
ISTILAH VMS atau Vessel Monitoring System barangkali masih terdengar asing bagi masyarakat awam. Tetapi, tidak bagi para pemilik kapal perikanan, utamanya sejak Departemen Kelautan dan Perikanan memanfaatkan teknologi canggih ini.
MEMANG, masih ada beberapa pemilik kapal perikanan yang seperti "curiga" atas kebijakan Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) yang mereka nilai sebagai upaya memata-matai kapal perikanan. Ini membutuhkan kegigihan DKP untuk secara intens memberikan pemahaman melalui sosialisasi ke lapangan.
Apa itu VMS? VMS adalah sistem pemantauan kegiatan usaha penangkapan ikan dengan memanfaatkan teknologi Automatic Location Communicator (ALC). Obyeknya jelas, kapal perikanan. Teknologi ALC inilah yang setiap saat memantau keberadaan kapal perikanan. Tujuannya untuk mempermudah inspeksi kapal perikanan dengan cara mengidentifikasi kapal, memonitor posisi kapal, aktivitas kapal, jenis dan jumlah hasil tangkapan serta informasi lainnya. Cukup hanya memasang suatu alat sederhana yang dikenal dengan transmiter atau transponder, teknologi canggih ini secara otomatis akan mengirim data tentang keberadaan, posisi, kecepatan, dan pola gerak kapal, termasuk laporan tangkapan serta informasi lain ke satelit. DKP dalam hal ini menggunakan Satelit Argos asal Perancis. Dari satelit inilah data atau informasi dari kapal dipancarkan ke pusat pemrosesan data yang sementara ini masih berpusat di Toulouse, Perancis.
Mengurangi kerugian
Proyek VMS muncul sebagai akibat dari keprihatinan karena semakin banyak kapal ilegal yang beroperasi, baik lokal maupun kapal asing. VMS juga eksis lantaran ada dorongan untuk mengurangi kerugian negara akibat pencurian ikan (illegal fishing). Itu satu hal. Permasalahan lain yang cukup serius adalah bagaimana pemerintah dapat menekan adanya kerugian dari sektor perikanan yang mencapai nilai mendekati 2 miliar dollar AS per tahun itu.
Berdasar catatan, munculnya angka kerugian pemerintah yang mendekati 2 miliar dollar AS per tahun itu adalah karena beberapa penyebab berikut ini. Pertama, adanya penangkapan ikan di zona ekonomi eksklusif (ZEE) dan ekspornya yang tidak termonitor, sekitar 4.000 kapal yang kerugiannya berkisar 1,2 miliar dollar AS per tahun. Kedua, Kapal eks impor dengan penetapan pengadilan negeri sebanyak 475 kapal yang diperkirakan mencapai 142 juta dollar AS tiap tahun. Ketiga, Kapal-kapal illegal fishing yang melanggar daerah penangkapan sebanyak 1.275 kapal berkisar 573 juta dollar AS tiap tahun. Keempat, kapal eks impor sebanyak 650 unit dengan anak buah kapal asing yang tidak mengurus (membayar) iuran tenaga kerja sebesar 7,8 juta dollar AS.
Berdasarkan konvensi hukum laut 1982, wilayah perairan Indonesia meliputi kawasan seluas 3,1 juta km² terdiri atas perairan kepulauan seluas 2,8 juta km² dan laut dengan luas sekitar 0,3 juta km² Indonesia juga memiliki hak berdaulat atas berbagai sumber kekayaan alam serta berbagai kepentingan yang melekat pada ZEE seluas 2,7 juta km² dan hak partisipasi dalam pengelolaan kekayaan alam di laut lepas di luar batas 200 mil ZEE, serta pengelolaan dan pemanfaatan kekayaan alam dasar laut perairan internasional di luar landas kontinen.
Pada sisi lain, potensi sumber daya ikan diperkirakan mencapai angka 6,2 juta ton per tahun dengan tingkat pemanfaatan 3,7 juta ton per tahun. Sumber daya perikanan ini umumnya bersifat common property, artinya kepemilikannya bersifat umum serta open access, yang berarti pula akses terhadapnya bersifat terbuka. Sumber daya perikanan juga bersifat renewable (mampu pulih), namun keberadaannya bukan tidak terbatas. Itu sebabnya sumber daya perikanan perlu dikelola dengan baik guna mencegah upaya penangkapan yang melewati ambang kemampuan regenerasinya (over fishing).
Alasan itulah yang menyebabkan mengapa pemerintah melalui DKP mengusulkan dibangunnya sistem yang dapat mengurangi akibat kerugian tersebut dengan aplikasi sistem VMS sebagai salah satu perangkat dari monitoring, control, and surveillance (MCS) yang sangat luas.
Tuntutan internasional
Ketentuan Code of Conduct for Responsible Fisheries (FAO 1995) menetapkan bahwa negara bertanggung jawab menyusun serta mengimplementasikan sistem MCS terhadap pengelolaan penangkapan ikan. Konvensi hukum laut PBB 1982 (United Nations Conventios Law of the Sea) menyebutkan pula bahwa pengelolaan sumber daya ikan mempunyai tiga tujuan utama. Pertama, pemanfaatan sumber daya ikan secara rasional. Kedua, pelestarian sumber daya ikan. Ketiga, keserasian usaha pemanfaatan. Dengan ketentuan itu, jelas setiap negara wajib melakukan pengelolaan sumber daya ikan secara lestari dan bertanggung jawab. Dalam konteks inilah VMS sebagai bagian dari MCS menjadi sangat penting dan relevan.
Penting karena ada semacam tuntutan internasional untuk menjaga, memelihara, dan melakukan pengawasan pengelolaan serta pemanfaatan sumber daya ikan. Pada sisi lain, pemerintah (baca: DKP) juga sadar mengenai lemahnya fungsi pengawasan terhadap pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan. Dengan kondisi seperti itu, jelas pemerintah membutuhkan beberapa data dan informasi penting. Antara lain data tentang luas wilayah perairan laut Indonesia, banyaknya illegal fishing, serta pelanggaran pengelolaan wilayah zona tangkap. Bahkan, menurut catatan, hampir seluruh negara kini telah menerapkan sistem VMS.
Keunggulan sistem VMS didukung oleh penggunaan jasa satelit yang sudah secara internasional dipakai oleh banyak negara. Teknologi elektronika yang dipakai di dalam hardware dan software di kapal ikan maupun di pusat VMS juga sudah merupakan teknologi terkini dan telah terbukti efektif.
Dengan gambaran tersebut jelas bahwa proyek VMS ini secara signifikan mampu memberikan keuntungan, baik bagi pemerintah di satu pihak serta perusahaan perikanan di lain pihak. Keuntungan pemerintah yang pertama adalah mengurangi kerugian negara akibat illegal fishing dan kegiatan ekspor yang ilegal. Negara juga mendapatkan keuntungan atas penyitaan kapal yang diperkirakan mencapai 0,7 juta dollar AS per tahun. Termasuk di dalamnya keuntungan atas penambahan penerimaan negara bukan pajak. Hal penting lainnya adalah keuntungan mendapatkan data dan informasi pemanfaatan sumber daya yang cepat dan akurat.
Teknologi berbasis satelit
Teknologi informasi ini merupakan salah satu bagian dari sistem pengawasan kapal berbasis satelit. Melalui operator dapat dilakukan pemantauan terhadap gerak kapal dalam melakukan kegiatannya di laut untuk selanjutnya dapat dianalisis, dikaitkan dengan ketentuan yang telah ditentukan dalam perizinan maupun peraturan internasional. Hal ini dilakukan DKP untuk mengendalikan sumber daya ikan yang terkait dengan pengeluaran izin serta mengurangi kegiatan ilegal. Termasuk di dalamnya informasi lain yang diperlukan guna mengurangi beroperasinya kapal ilegal di perairan Indonesia.
Sistem pemantauan versi ini sebenarnya telah baku, sebagaimana telah diterapkan di berbagai negara. Teknologi ini mampu menunjukkan kecanggihannya melaksanakan tugas pemantauan kapal di wilayah perairan dengan luasan yang sangat variatif. Ini dimungkinkan karena VMS terdiri atas beberapa komponen yang merupakan subsistem, di samping satelitnya sendiri sebagai wahana transformasi data dari kapal ke pusat pengendali. Skema di atas menggambarkan mekanisme kerja VMS, di mana transmiter ini mengirimkan data posisi kapal melalui sistem satelit VMS yang beredar pada orbitnya di atas Bumi. Di belahan Bumi mana pun kapal tersebut berada, satelit akan menerima pesan dari kapal dan mengirimkan ke pusat pengolahan data yang kemudian me-relay data yang sudah diolah ke pusat monitoring pengguna (FMC). Informasi inilah yang digunakan untuk melakukan monitoring atau pengawasan terhadap penangkapan ikan oleh DKP sebagai pengelola sumber daya kelautan dan perikanan. Bagi pengusaha, ini juga penting karena mereka dapat mengakses data armada kapal untuk kepentingan perusahaan.
Perusahaan dan nelayan
Lalu apa keuntungan perusahaan perikanan terhadap teknologi VMS? Pertama, adanya jaminan berusaha yang terkait dengan situasi yang kondusif dan aman. Kedua, terjaminnya kepastian usaha dalam jangka waktu yang relatif panjang. Pengusaha juga dapat dengan mudah mengakses data dan informasi mengenai potensi serta pasar yang cepat dan akurat. Pengawasan operasi terhadap armadanya juga dapat dengan mudah dilakukan.
Bagaimana dengan nasib para nelayan tradisional? Pertama, nelayan tradisional mendapatkan jaminan usaha yang pasti. Kedua, terkikisnya potensi konflik sosial, khususnya dengan perusahaan perikanan besar dan menengah. Dan ketiga, adanya peningkatan kesejahteraan yang disebabkan adanya peningkatan efisiensi produksi. Dengan demikian, penerapan proyek VMS ini secara ekonomis sangat berdampak positif, baik ditinjau dari sisi perolehan devisa (dalam konteks menekan kerugian negara dari pencurian ikan), peningkatan ekspor, serta pembangunan daerah.
Jika demikian, wajar jika kehadiran VMS sebagai teknologi berbasis satelit perlu disambut dengan positif. Perekonomian kita memang tengah membutuhkan daya dukung sektor yang luar biasa besar. Satu di antara sekian sektor pembangunan, kelautan dan perikanan diyakini mampu memberikan kontribusi yang signifikan. Hemat kami, pembangunan VMS ini perlu segera diikuti dengan berbagai pembangunan subsistem MCS lainnya.
Antara lain seperti sistem radar, sistem pengawasan masyarakat, sistem perizinan, dan lain sebagainya. Untuk itu, tampaknya perlu segera dibentuk peraturan perundangan yang memadai demi terselenggaranya penegakan hukum di laut. Ini penting karena menyangkut bangkitnya pembangunan sektor kelautan dan perikanan ke depan. Semoga.
MHartono Pemerhati Masalah Kelautan dan Perikanan

Mengelola Ikan Secara Bertanggung Jawab

Mengelola Ikan Secara Bertanggung Jawab
Kondisi perikanan dunia saat ini tidak dapat lagi dikatakan masih berlimpah. Tanpa adanya konsep pengelolaan yang berbasis lingkungan, dikhawatirkan sumber daya yang sangat potensial ini-sebagai sumber protein yang sehat dan murah-bisa terancam kelestariannya.
Karena itu, sidang Organisasi Pangan Sedunia (FAO) memperkenalkan Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) sejak 1995. Konsep yang diterjemahkan sebagai Tata Laksana Perikanan yang Bertanggung Jawab (Code of Conduct for Responsible Fisheries) tersebut telah diadopsi oleh hampir seluruh anggota badan dunia sebagai patokan pelaksanaan pengelolaan perikanan. Sekalipun sifatnya sukarela, banyak negara telah sepakat bahwa CCRF merupakan dasar kebijakan pengelolaan perikanan dunia. Dalam pelaksanaannya, FAO telah mengeluarkan petunjuk aturan pelaksanaan dan metode untuk mengembangkan kegiatan perikanan yang mencakup perikanan tangkap dan budidaya. Sejak pertengahan tahun 1990-an, sebagian ahli perikanan dunia memang telah melihat adanya kecenderungan hasil tangkapan perikanan global yang telah mencapai titik puncak. Bahkan di beberapa wilayah dunia, produksi perikanan telah menunjukkan gejala tangkap lebih (overfishing). Meningkatnya jumlah ikan yang ditangkap bisa dilihat pada gambar 1. Kondisi overfishing di beberapa bagian dunia dapat dibuktikan dengan membuat analisis rantai makanan (trophic level) terhadap ikan-ikan yang tertangkap. Hasil yang ada menunjukkan bahwa aktivitas perikanan oleh manusia menurunkan populasi ikan-ikan jenis predator utama, seperti tuna, marlin, cucut (Myers dan Worm, 2003).
Dengan jumlah alat tangkap yang dimiliki armada perikanan dunia saat ini serta dibarengi kemajuan teknologi yang ada, nelayan modern tidak perlu lagi mencari-cari daerah penangkapan terlalu lama seperti yang dilakukan generasi terdahulu, di mana mereka harus berlayar berhari-hari untuk mencapai fishing ground atau daerah penangkapan ikan.
Akibat dari berkurangnya populasi ikan pada trophic level tinggi, tingkat eksploitasi terhadap jenis ikan yang berada pada tingkat trophic level yang lebih rendah, seperti ikan-ikan pelagis kecil dan cumi-cumi, akan meningkat. Kecenderungan demikian disebut Fishing Down Marine Food Web, yang pertama kali diperkenalkan Pauly et al, 2002.
Ilustrasi pada gambar 2 memperlihatkan gejala Fishing Down Marine Food Web seperti yang dimaksud. Kecenderungan ini tidak bisa dibiarkan karena pada akhirnya manusia hanya akan bisa menyantap sup ubur-ubur dan plankton.
Pengelolaan di Indonesia
Bagaimana pengelolaan sumber daya perikanan di Indonesia?
Sampai saat ini pihak pemerintah, yakni Departemen Kelautan dan Perikanan yang merupakan pengelola sumber daya perikanan, terus mencari dan menyempurnakan cara yang tepat untuk diterapkan. Salah satu contoh adalah pembagian daerah perairan Indonesia menjadi sembilan Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP). Pembagian wilayah ini didasarkan pada daerah tempat ikan hasil tangkapan didaratkan di pelabuhan.
Pengelompokan tidak didasarkan pada kemiripan ekosistem yang ada, tetapi lebih kepada lokasi pendaratan ikan. Hal ini berpotensi misleading karena dapat terjadi bahwa WPP Laut Jawa dianggap memproduksi tuna tinggi, padahal tuna tersebut sebenarnya berasal dari Samudra Hindia. Tuna ini seolah-olah berasal dari Laut Jawa karena didaratkan di Pelabuhan Muara Baru Jakarta, yang masuk WPP Laut Jawa.
Aspek pengelolaan wilayah ini erat kaitannya dengan kondisi stok ikan di perairan Indonesia. Kemampuan menduga jumlah populasi ikan (stock assessment) secara akurat sangat ditentukan ketersediaan informasi dan data yang tepat. Hal ini sudah menjadi perhatian para peneliti maupun pengambil kebijakan di lingkungan Departemen Kelautan dan Perikanan.
Namun, penentuan jumlah tangkap maksimum lestari (maximum sustainable yield) atau yang lazim dikenal dengan MSY perlu disikapi hati- hati. Berbagai asumsi dalam perhitungan MSY telah banyak berubah dan tidak valid lagi. Salah satu contoh adalah faktor teknologi yang berkembang dengan pesat sehingga kemampuan penangkapan oleh satu unit alat tangkap (catch per unit effort/CPUE) akan sangat dinamis mengikuti perkembangan teknologi. Artinya, koefisien kemampuan penangkapan (catchability coefficient) yang digunakan dalam perhitungan MSY tidak dapat dianggap konstan karena sangat bergantung pada perkembangan teknologi.
Yang tak dilaporkan
Hal lain yang ingin di tekankan adalah pemahaman mengenai Illegal Unreported and Unregulated (IUU) Fishing. Setiap tahun Indonesia rugi Rp 1-4 miliar dollar AS akibat kegiatan pencurian ikan. Selain kerugian finansial, kerugian terbesar dialami sumber daya perikanan itu sendiri.
Apabila dijumlahkan secara keseluruhan, hasil tangkapan yang tergolong dalam IUU Fishing akan terlihat bahwa kerugian yang dialami Indonesia adalah sangat signifikan. Berdasarkan hasil penelitian global diperkirakan IUU Fishing mencapai 30-40 persen dari hasil tangkapan total. Dalam definisi kegiatan ilegal pencurian ikan, dimasukkan pula kategori hasil tangkapan yang tidak dilaporkan (unreported).
Termasuk di dalamnya adalah hasil tangkapan sampingan (by catch) dan kegiatan perikanan yang tidak diatur dalam sistem peraturan dan perundang-undangan (unregulated). Terhadap kedua kategori tersebut, masih sangat minim perhatian yang diberikan, baik oleh para peneliti maupun pengelola perikanan Indonesia.
Dalam banyak kesempatan, komponen unreported dan unregulated masih dianggap tabu untuk dilaporkan, atau tidak perlu dilaporkan sama sekali. Padahal, untuk mengelola suatu sumber daya perikanan yang besar, seperti yang dimiliki Indonesia, persoalan resource accounting sangat penting. Ini untuk memberikan informasi akurat tentang berapa besar sumber daya (perikanan) yang dimiliki dan berapa banyak pula jumlah yang diekstrak dari total ketersediaan sumber daya tersebut melalui kegiatan resmi perikanan.
Saat ini kegiatan pencurian ikan telah menjadi isu yang sangat penting dalam manajemen perikanan dunia. Masalah ini telah berkembang menjadi masalah global sehingga FAO mengeluarkan guideline dalam bentuk Rencana Kerja Internasional (International Plan of Action) sebagai usaha internasional untuk pencegahan dan pemberantasan kegiatan yang sangat merugikan ini.
Saran pengelolaan
Agar pengelolaan optimal, berbagai informasi seperti data hasil tangkapan (jenis ikan, ukuran, dan jumlah), daerah tangkapan (fishing ground) serta upaya penangkapan (effort) merupakan informasi kunci untuk dapat membuat suatu analisis pendugaan stok (stock assessment) yang baik.
Keberhasilan analisis stock assessment sangat bergantung pada akurasi data yang dipakai. Pembagian WPP yang ada saat ini lebih ditujukan untuk memudahkan sistem pendataan. Perlu kiranya dipikirkan untuk membuat pengelompokan berdasarkan kondisi lingkungan perairan dan sifat- sifat bio-ekologis sumber daya perikanan yang terkandung di dalamnya.
Hasil kajian para pakar perikanan Indonesia menunjukkan kondisi tangkap lebih (overfishing) pada beberapa wilayah perairan Indonesia termasuk Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Keadaan demikian mengharuskan pihak pengelola (DKP) untuk membatasi pemberian izin penangkapan ikan di daerah-daerah tersebut.
Perlu dilakukan rasionalisasi penangkapan (effort rationalization) untuk mendorong tingkat pemanfaatan yang berlebihan di suatu wilayah menjadi berkurang atau terdistribusi secara lebih merata. Hal ini dapat dilihat dari ketidak- seimbangan fishing effort antara Indonesia bagian Barat dan Indonesia bagian Timur. Di bagian lain, strategi untuk memperkuat peraturan dan perundang-undangan yang jelas dan disiplin dalam membatasi masuknya perusahaan dan individu baru dalam kegiatan perikanan harus ditingkatkan.
Agar semua berjalan baik, diperlukan adanya peraturan dan perundang-undangan yang jelas untuk mengawasi jalannya pemberian izin penangkapan ikan dan budidaya. Pemanfaatan alat tangkap yang merusak lingkungan, seperti trawl, bahan peledak, dan racun sangat berbahaya bagi kelangsungan hidup biota lainnya di dalam ekosistem sebaiknya dilarang.
Langkah terakhir dalam menyelamatkan sumber daya ikan, terutama di laut, adalah menciptakan daerah-daerah perlindungan laut (marine protected areas). Opsi ini adalah kunci keberhasilan pengelolaan perikanan berbasis lingkungan. Sama halnya dengan makhluk hidup lainnya, di mana diperlukan tempat yang aman dari pemangsaan, demikian pula halnya dengan populasi ikan di laut. Dengan diciptakannya daerah-daerah (zones) yang aman di dalam daerah perlindungan laut dari penangkapan (partial no-take zones), maka diharapkan populasi ikan yang telah mengalami tangkap lebih akan pulih.
Budidaya
Sebagai alternatif dari perikanan tangkap adalah perikanan budidaya meski tetap perlu disikapi hati-hati. Penyebabnya adalah apabila memelihara ikan predator, hal ini hanya akan membuat pembudidayaannya harus menangkap ikan secara berlebihan di laut untuk membuat pakan. Dengan kata lain, ikan-ikan budidaya jenis karnivora tidak akan membuat keadaan menjadi lebih baik bagi stok ikan di laut.
Apabila membudidayakan ikan-ikan jenis memiliki herbivora (trophic level rendah), maka hal ini akan memberikan nilai tambah dalam usaha konservasi populasi ikan di laut, karena tidak akan mengeksploitasi sumber daya ikan di laut untuk konsumsi ikan budidaya yang sebenarnya cocok untuk konsumsi manusia.
Penelitian yang mengarah pada pengelolaan sumber daya perikanan dan kelautan yang berbasis ekosistem sangat diperlukan untuk dijadikan dasar pengambilan kebijakan nasional maupun daerah. Hubungan antara kondisi perairan, seperti sifat-sifat oseanografis, dan sumber daya ikan yang terkandung di dalamnya harus dapat dimengerti dan dapat diakses dengan baik agar dapat dijadikan modal informasi bagi para nelayan dan petambak untuk menentukan kegiatan mereka.
Dr Tonny Wagey Staf Pengajar Universitas Pattimura Ambon, Peneliti pada Departemen Kelautan dan Perikanan

Selasa, 13 November 2007

Menangkap Ikan dgn Satelit


Menangkap Ikan dengan Satelit
ITANG duduk bersandar pada dinding samping bangunan Dinas Perikanan dan Kelautan UPTD PPI Central Cilauteureun Pameungpeuk Garut Selatan, Kamis (8/12) siang. Kedua kakinya dilipat. Telunjuk dan jari tengah kanannya mengapit sebatang rokok kretek yang tinggal setengahnya. Sesekali ia mengisap rokoknya dalam-dalam.
"Santai heula ah, Cep, meungpeung nuju teu aya nu nyebrang (Santai dulu ah, mumpung belum ada yang menyeberang)," katanya kepada "PR".
Lelaki berusia 45 tahun itu merupakan nelayan yang ada di Cilauteureun. Itang sedang libur melaut siang itu. Pasalnya, bukan karena larangan melaut selama tiga hari berturut-turut yang dikeluarkan LAPAN sehubungan peluncuran uji terbang sembilan roket ilmiahnya. Namun, lebih karena saat ini merupakan musim "paceklik" ikan.
"Ah, ayeuna mah sesah kenging. Kangge bahan bakar oge teu kagentosan," keluhnya.
Selama bulan Desember hingga Maret, ujar Itang, merupakan musim di mana perolehan ikan menurun drastis. "Upami usum panen di sasih Juni dugi September, tiasa kenging dua kuintal, ayeuna mah paling seueur 50 kilo," katanya.
Karenanya, kini untuk sementara ia beralih profesi menjadi ojeg parahu. Tugasnya, menyeberangkan orang-orang dari Cilauteureun ke Pantai Santolo. Setiap menyeberang, Itang mendapat upah seribu rupiah.
Bukan tanpa sebab jika ia beralih profesi. Impitan biaya dapur efek domino kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), membuatnya harus lebih kreatif lagi. Menghabiskan modal untuk 80 liter BBM yang dikonsumsi kapal motornya dengan pendapatan ikan yang minim, atau mencari alternatif lain?
**
Untungnya, setiap hari para nelayan di Cilauteureun mendapat informasi zona potensi penangkapan ikan Pameungpeuk. Informasi ini berisi titik koordinat tempat ditemukan populasi ikan terbanyak.
Tampilannya dibuat relatif semudah mungkin, peta pantai atau laut lengkap dengan wilayah daratan sebagai patokan. Di sampingnya, terdapat legenda peta yang menerangkan area dalam peta. serta titik koordinat persinggungan tempat ikan berada.
Jelas saja, Itang menggangap hal ini menguntungkan nelayan. Mereka tidak harus menghabiskan waktu seharian, untuk mengobservasi dan menentukan area jumlah ikan terbanyak--layaknya cara menangkap ikan tradisional.
Itang menjelaskan, dengan informasi zona potensi penangkapan ikan Pameungpeuk yang dikeluarkan LAPAN, beberapa rekannya sesama nelayan memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi.
"Komo upami tos ngangge GPS mah, gampil pisan," paparnya.
Ya, seperti apa yang dikatakan Itang, dengan sebuah alat bernama Global Positioning System (GPS), titik berkumpulnya ikan dapat diketahui dengan lebih akurat. Tingkat keberhasilannya, menurut Itang, sangat tinggi. "Pasti kuintalan wae sanajan paceklik ge (Pasti perolehannya berkuintal-kuintal, walaupun di musim paceklik)," katanya.
Tanpa alat canggih bernama GPS, seorang Itang tak berkecil hati. Ia berusaha membaca peta zona tersebut, tanpa memasukkan koordinat tertentu seperti layaknya pada GPS. Ia hanya mengira di daerah mana ikan-ikan yang tergambar di peta tersebut. Abrakadabra! Dugaan jadi kenyataan. "Hampir leres wae eta mah. Nanging teu saseueur nu ngangge GPS, lumayan nambih," tambahnya.
Dari 1.134 nelayan di Cilauteureun, Itang mengaku baru ada empat nelayan yang memiliki alat canggih tersebut. Sisanya, masih menggunakan metode kombinasi: informasi zona penangkapan yang bersumber dari citra satelit NOAA, FENGYUN1-D, dan TOPEX, dan sistem kiraan ala Itang.
Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan UPTD PPI Central Cilauteureun Dadang, S.P., menyatakan, untuk saat ini pihaknya sedang berusaha menjembatani teknologi dan tingkat adopsi masyarakat tersebut. "Caranya, ya, dengan pemasangan peta laut. Hanya masalahnya, kita belum punya," katanya.
Laporan hasil pemantauan citra satelit tentang posisi ikan tersebut, selain bisa diakses melalui GPS, bagi nelayan yang tidak memiliki peralatan tersebut, LAPAN mencetak hasil pemantauan tersebut, kemudian ditempel di papan yang ada di pusat pelelangan ikan (PPI) setempat. (Roby Nugraha/"PR")***

Senin, 12 November 2007

Pengembangan Agribisnis Holtikultura

Dalam pengembangan agribisnis hortikultura maka peranan Provinsi Lampung, Jawa Barat, Banten, DKI Jakarta dan Kalimantan Barat semakin unik. Adanya saling ketergantungan antara provinsi yang berperan sebagai sentra produksi dan provinsi yang berperan sebagai pemasaran. Untuk mensinergikan kondisi ini para pelaku usaha, asosiasi petani, perbankan dan pihak pemerintah (Departemen Pertanian dan Pemda yang bersangkutan) telah membentuk Kawasan Hortikultura Krakatau (KAHORTI KRAKATAU) pada bulan September 2001 di Cilegon.
Kawasan Hortikultura Krakatau (KAHORTI KRAKATAU) adalah salah satu model pengembangan agribisnis di bidang hortikultura yang berbasis pendekatan kawasan. Anggota dari masing-masing forum memiliki kompetensi keunggulan komparatif, sentra produksi dan pemasaran yang secara bersama dan terpadu dapat ditingkatkan menjadi keunggulan yang kompetitif dan sinergis. Dengan demikian dalam suatu kawasan agribisnis dapat dilakukan kerjasama dengan adanya saling keterkaitan secara bersama-sama di bidang peningkatan produksi, penanganan pasca panen, pengolahan hasil, peningkatan mutu produk dan pemasaran, sehingga dapat memberikan hasil sinergis bagi pengembangan agribisnis dan pengembangan ekonomi masyarakat.
Meningkatnya permintaan produk hortikultura di kawasan ini, akibat semakin maraknya kegiatan perdagangan, industri, pariwisata dan pemukiman. Kawasan ini selain merupakan sentra utama produksi hortikultura, khususnya di kawasan Jabotabek. Oleh karena itu pembentukan Forum Bersama (FORSAMA) dilakukan sebagai jembatan antara produsen dan pelaku-pelaku usaha pemasaran. Lembaga kerjasama seperti ini hendaknya mampu menyediakan informasi sebaran pemasaran, supply and demand hasil pertanian di tingkat provinsi dan kabupaten; dapat membantu dalam pengembangan pasar hasil pertanian khususnya sektor hortikultura bagi para pelaku usaha melalui pelatihan dan bimbingan teknis; membantu memberikan informasi tentang Perda yang mendukung kelancaran pemasaran dan distribusi hasil pertanian di daerah; serta berfungsi untuk menciptakan kerjasama pemasaran antar daerah yang efisien dan efektif serta berdaya saing.
Potensi pasar yang besar di kawasan ini tidak hanya di DKI Jakarta, tapi juga kota-kota di kawasan Jabodetabek yang tumbuh pesat dengan supermarket dan hipermarketnya.
Meskipun demikian usaha agribisnis hortikultura saat ini masih menghadapi permasalahan antara lain, rantai tata niaga dari produsen ke konsumen masih sangat panjang; pasokan produk hortikultura belum bisa mengutamakan kebutuhan pasar dari sisi kualitas, kuantitas maupun kontinuitas; petani produsen masih mengalami kesulitan modal; masih banyak retribusi yang tak resmi yang dihadapi oleh jasa pengangkutan hasil produk hortikultura; belum tersedianya sarana dan prasarana yang memadai; belum adanya jaringan kemitraan yang kuat dan berkelanjutan antara petani, pedagang perantara dan pelaku pasar.
Dalam hal ini untuk mengatasi kelemahan tersebut, jaringan pemasaran harus mulai dibangun dengan memperkuat peranan kelompok tani produsen melalui STA sebagai pintu masuk ke pasar tradisional. PD. Pasar Jaya misalnya, merupakan perusahaan daerah milik pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang semuanya memperdagangkan produk agribisnis. Salah satunya melalui Pasar Induk Kramat Jati (PIKJ) sebagai pusat pasar agribisnis terbesar di DKI Jakarta, khususnya produk buah-buahan dan sayuran.
Dengan demikian dilaksanakannya kegiatan Forsama Kahorti Krakatau ini diharapkan dapat mengurai benang kusut dari permasalahan yang dihadapi petani agribisnis hortikultura dan menetapkan langkah-langkah konkrit dalam bentuk program aksi bagi pengembangan kerjasama pemasaran agribisnis hortikultura di Indonesia, untuk kelak dapat mengatasi persaingan produk-produk pertanian di tingkat dunia akibat Globalisasi.

Ayo Kita Bisnis

Ayo