Rabu, 14 November 2007

Teknologi VMS: Pemantauan Penangkapan Ikan

Menekan Kerugian Negara - Dari Pencurian Ikan Melalui Teknologi VMS
M Hartono
ISTILAH VMS atau Vessel Monitoring System barangkali masih terdengar asing bagi masyarakat awam. Tetapi, tidak bagi para pemilik kapal perikanan, utamanya sejak Departemen Kelautan dan Perikanan memanfaatkan teknologi canggih ini.
MEMANG, masih ada beberapa pemilik kapal perikanan yang seperti "curiga" atas kebijakan Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) yang mereka nilai sebagai upaya memata-matai kapal perikanan. Ini membutuhkan kegigihan DKP untuk secara intens memberikan pemahaman melalui sosialisasi ke lapangan.
Apa itu VMS? VMS adalah sistem pemantauan kegiatan usaha penangkapan ikan dengan memanfaatkan teknologi Automatic Location Communicator (ALC). Obyeknya jelas, kapal perikanan. Teknologi ALC inilah yang setiap saat memantau keberadaan kapal perikanan. Tujuannya untuk mempermudah inspeksi kapal perikanan dengan cara mengidentifikasi kapal, memonitor posisi kapal, aktivitas kapal, jenis dan jumlah hasil tangkapan serta informasi lainnya. Cukup hanya memasang suatu alat sederhana yang dikenal dengan transmiter atau transponder, teknologi canggih ini secara otomatis akan mengirim data tentang keberadaan, posisi, kecepatan, dan pola gerak kapal, termasuk laporan tangkapan serta informasi lain ke satelit. DKP dalam hal ini menggunakan Satelit Argos asal Perancis. Dari satelit inilah data atau informasi dari kapal dipancarkan ke pusat pemrosesan data yang sementara ini masih berpusat di Toulouse, Perancis.
Mengurangi kerugian
Proyek VMS muncul sebagai akibat dari keprihatinan karena semakin banyak kapal ilegal yang beroperasi, baik lokal maupun kapal asing. VMS juga eksis lantaran ada dorongan untuk mengurangi kerugian negara akibat pencurian ikan (illegal fishing). Itu satu hal. Permasalahan lain yang cukup serius adalah bagaimana pemerintah dapat menekan adanya kerugian dari sektor perikanan yang mencapai nilai mendekati 2 miliar dollar AS per tahun itu.
Berdasar catatan, munculnya angka kerugian pemerintah yang mendekati 2 miliar dollar AS per tahun itu adalah karena beberapa penyebab berikut ini. Pertama, adanya penangkapan ikan di zona ekonomi eksklusif (ZEE) dan ekspornya yang tidak termonitor, sekitar 4.000 kapal yang kerugiannya berkisar 1,2 miliar dollar AS per tahun. Kedua, Kapal eks impor dengan penetapan pengadilan negeri sebanyak 475 kapal yang diperkirakan mencapai 142 juta dollar AS tiap tahun. Ketiga, Kapal-kapal illegal fishing yang melanggar daerah penangkapan sebanyak 1.275 kapal berkisar 573 juta dollar AS tiap tahun. Keempat, kapal eks impor sebanyak 650 unit dengan anak buah kapal asing yang tidak mengurus (membayar) iuran tenaga kerja sebesar 7,8 juta dollar AS.
Berdasarkan konvensi hukum laut 1982, wilayah perairan Indonesia meliputi kawasan seluas 3,1 juta km² terdiri atas perairan kepulauan seluas 2,8 juta km² dan laut dengan luas sekitar 0,3 juta km² Indonesia juga memiliki hak berdaulat atas berbagai sumber kekayaan alam serta berbagai kepentingan yang melekat pada ZEE seluas 2,7 juta km² dan hak partisipasi dalam pengelolaan kekayaan alam di laut lepas di luar batas 200 mil ZEE, serta pengelolaan dan pemanfaatan kekayaan alam dasar laut perairan internasional di luar landas kontinen.
Pada sisi lain, potensi sumber daya ikan diperkirakan mencapai angka 6,2 juta ton per tahun dengan tingkat pemanfaatan 3,7 juta ton per tahun. Sumber daya perikanan ini umumnya bersifat common property, artinya kepemilikannya bersifat umum serta open access, yang berarti pula akses terhadapnya bersifat terbuka. Sumber daya perikanan juga bersifat renewable (mampu pulih), namun keberadaannya bukan tidak terbatas. Itu sebabnya sumber daya perikanan perlu dikelola dengan baik guna mencegah upaya penangkapan yang melewati ambang kemampuan regenerasinya (over fishing).
Alasan itulah yang menyebabkan mengapa pemerintah melalui DKP mengusulkan dibangunnya sistem yang dapat mengurangi akibat kerugian tersebut dengan aplikasi sistem VMS sebagai salah satu perangkat dari monitoring, control, and surveillance (MCS) yang sangat luas.
Tuntutan internasional
Ketentuan Code of Conduct for Responsible Fisheries (FAO 1995) menetapkan bahwa negara bertanggung jawab menyusun serta mengimplementasikan sistem MCS terhadap pengelolaan penangkapan ikan. Konvensi hukum laut PBB 1982 (United Nations Conventios Law of the Sea) menyebutkan pula bahwa pengelolaan sumber daya ikan mempunyai tiga tujuan utama. Pertama, pemanfaatan sumber daya ikan secara rasional. Kedua, pelestarian sumber daya ikan. Ketiga, keserasian usaha pemanfaatan. Dengan ketentuan itu, jelas setiap negara wajib melakukan pengelolaan sumber daya ikan secara lestari dan bertanggung jawab. Dalam konteks inilah VMS sebagai bagian dari MCS menjadi sangat penting dan relevan.
Penting karena ada semacam tuntutan internasional untuk menjaga, memelihara, dan melakukan pengawasan pengelolaan serta pemanfaatan sumber daya ikan. Pada sisi lain, pemerintah (baca: DKP) juga sadar mengenai lemahnya fungsi pengawasan terhadap pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan. Dengan kondisi seperti itu, jelas pemerintah membutuhkan beberapa data dan informasi penting. Antara lain data tentang luas wilayah perairan laut Indonesia, banyaknya illegal fishing, serta pelanggaran pengelolaan wilayah zona tangkap. Bahkan, menurut catatan, hampir seluruh negara kini telah menerapkan sistem VMS.
Keunggulan sistem VMS didukung oleh penggunaan jasa satelit yang sudah secara internasional dipakai oleh banyak negara. Teknologi elektronika yang dipakai di dalam hardware dan software di kapal ikan maupun di pusat VMS juga sudah merupakan teknologi terkini dan telah terbukti efektif.
Dengan gambaran tersebut jelas bahwa proyek VMS ini secara signifikan mampu memberikan keuntungan, baik bagi pemerintah di satu pihak serta perusahaan perikanan di lain pihak. Keuntungan pemerintah yang pertama adalah mengurangi kerugian negara akibat illegal fishing dan kegiatan ekspor yang ilegal. Negara juga mendapatkan keuntungan atas penyitaan kapal yang diperkirakan mencapai 0,7 juta dollar AS per tahun. Termasuk di dalamnya keuntungan atas penambahan penerimaan negara bukan pajak. Hal penting lainnya adalah keuntungan mendapatkan data dan informasi pemanfaatan sumber daya yang cepat dan akurat.
Teknologi berbasis satelit
Teknologi informasi ini merupakan salah satu bagian dari sistem pengawasan kapal berbasis satelit. Melalui operator dapat dilakukan pemantauan terhadap gerak kapal dalam melakukan kegiatannya di laut untuk selanjutnya dapat dianalisis, dikaitkan dengan ketentuan yang telah ditentukan dalam perizinan maupun peraturan internasional. Hal ini dilakukan DKP untuk mengendalikan sumber daya ikan yang terkait dengan pengeluaran izin serta mengurangi kegiatan ilegal. Termasuk di dalamnya informasi lain yang diperlukan guna mengurangi beroperasinya kapal ilegal di perairan Indonesia.
Sistem pemantauan versi ini sebenarnya telah baku, sebagaimana telah diterapkan di berbagai negara. Teknologi ini mampu menunjukkan kecanggihannya melaksanakan tugas pemantauan kapal di wilayah perairan dengan luasan yang sangat variatif. Ini dimungkinkan karena VMS terdiri atas beberapa komponen yang merupakan subsistem, di samping satelitnya sendiri sebagai wahana transformasi data dari kapal ke pusat pengendali. Skema di atas menggambarkan mekanisme kerja VMS, di mana transmiter ini mengirimkan data posisi kapal melalui sistem satelit VMS yang beredar pada orbitnya di atas Bumi. Di belahan Bumi mana pun kapal tersebut berada, satelit akan menerima pesan dari kapal dan mengirimkan ke pusat pengolahan data yang kemudian me-relay data yang sudah diolah ke pusat monitoring pengguna (FMC). Informasi inilah yang digunakan untuk melakukan monitoring atau pengawasan terhadap penangkapan ikan oleh DKP sebagai pengelola sumber daya kelautan dan perikanan. Bagi pengusaha, ini juga penting karena mereka dapat mengakses data armada kapal untuk kepentingan perusahaan.
Perusahaan dan nelayan
Lalu apa keuntungan perusahaan perikanan terhadap teknologi VMS? Pertama, adanya jaminan berusaha yang terkait dengan situasi yang kondusif dan aman. Kedua, terjaminnya kepastian usaha dalam jangka waktu yang relatif panjang. Pengusaha juga dapat dengan mudah mengakses data dan informasi mengenai potensi serta pasar yang cepat dan akurat. Pengawasan operasi terhadap armadanya juga dapat dengan mudah dilakukan.
Bagaimana dengan nasib para nelayan tradisional? Pertama, nelayan tradisional mendapatkan jaminan usaha yang pasti. Kedua, terkikisnya potensi konflik sosial, khususnya dengan perusahaan perikanan besar dan menengah. Dan ketiga, adanya peningkatan kesejahteraan yang disebabkan adanya peningkatan efisiensi produksi. Dengan demikian, penerapan proyek VMS ini secara ekonomis sangat berdampak positif, baik ditinjau dari sisi perolehan devisa (dalam konteks menekan kerugian negara dari pencurian ikan), peningkatan ekspor, serta pembangunan daerah.
Jika demikian, wajar jika kehadiran VMS sebagai teknologi berbasis satelit perlu disambut dengan positif. Perekonomian kita memang tengah membutuhkan daya dukung sektor yang luar biasa besar. Satu di antara sekian sektor pembangunan, kelautan dan perikanan diyakini mampu memberikan kontribusi yang signifikan. Hemat kami, pembangunan VMS ini perlu segera diikuti dengan berbagai pembangunan subsistem MCS lainnya.
Antara lain seperti sistem radar, sistem pengawasan masyarakat, sistem perizinan, dan lain sebagainya. Untuk itu, tampaknya perlu segera dibentuk peraturan perundangan yang memadai demi terselenggaranya penegakan hukum di laut. Ini penting karena menyangkut bangkitnya pembangunan sektor kelautan dan perikanan ke depan. Semoga.
MHartono Pemerhati Masalah Kelautan dan Perikanan

Tidak ada komentar: